Apa itu Déjà vu?
Hampir semua dari kita pernah mengalami apa yang dinamakan Déjà vu, sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton. Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.
Keanehan fenomena Déjà vu ini kemudian melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya adalah teori yang mengatakan bahwa Déjà vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa kita ini sebenarnya sudah tau Masa Depan Kita . Kita sudah tau mau hidup kemana, mau tinggal dimana, bahkan kita juga sudah tau nanti Kita akan Jadi apa, hanya saja karena kebesaran tuhan, kita tidak diberitahu secara langsung. Kita dapat mengetahui nya setelah hal itu terjadi. Kita akan merasa bahwa kita sudah pernah Melakukan hal yang sama, hal itu lah yang disebut Déjà vu oleh beberapa ulama-ulama.
Sekarang bagaimana dengan teori science itu Sendiri? Berikut cuplikannya
Pada awalnya, beberapa ilmuwan beranggapan bahwa Déjà vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun 2006 ditemukan bahwa orang butapun bisa mengalami Déjà vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.
Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan pula penderita Déjà vu kronis (orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi). Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena merasa telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan mereka bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati “penyakit“nya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan kita.
Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini akan “didaftarkan” sebagai pengalaman baru dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.
Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya, dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer: kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau ‘lama’.
Menciptakan Déjà vu dalam Laboratorium
Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap misteri Déjà vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta partisipan untuk datang dan “menyuruh” mereka mengalami Déjà vu dalam kondisi lab yang steril. Déjà vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat. Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan. Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip Déjà vu.
Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang memiliki “ingatan palsu“. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain sama sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.
LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’ kata-kata tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar kata-kata yang sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu kerjanya oleh hipnosis.
Sekarang Arti Déjà vu sendiri adalah sebuah frasa Perancis dan artinya secara harafiah adalah “pernah lihat”. Maksudnya mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami sebelumnya. Fenomena ini juga disebut dengan istilah paramnesia dari bahasa Yunani para (παρα) yang artinya adalah “sejajar” dan mnimi (μνήμη) “ingatan”. Ada yang bilang kalau Déjà vu itu terjadi karena ingatan kita pada masa hidup kita yang lalu. Ini ada hubungannya dengan reinkarnasi, di mana Déjà vu baru akan terasa apabila kita bertemu dengan orang-orang yang kita temui di kehidupan kita terdahulu itu. Menurut para pakar, setidaknya 70% penduduk bumi pernah mengalami fenomena ini.
Teori Lain tentang Déjà vu :
Lalu ada juga yang mengatakan bahwa Déjà vu terjadi karena otak kita memiliki sensitivitas tinggi terhadap frekuensi tertentu. Kita tahu bahwa otak bekerja dengan listrik, tubuh kita penuh dengan impuls listrik yang dikirimkan dari dan ke otak, di mana tubuh kita mendapatkan respon dari dunia luar (panas, dingin, rasa, suara, cahaya) berupa gelombang. Gelombang lalu diterjemahkan dalam bentuk impuls listrik lalu di kirim ke otak dan di baca. Tapi ada kalanya otak kita memiliki sensitivitas tinggi tadi sehingga gelombang langsung menerima gelombang tadi secara langsung. Biasanya yang di baca berupa amplitudo dan frekuensi tertentu sesuai dengan kualitas otak kita.
Einstein bilang bahwa waktu itu tidak relatif. Sebab-akibat itu relatif, bisa terbalik-balik. Jadi waktu itu adalah mesin waktu itu sendiri. Di alam semesta ini ada suatu zat yang hampir sama komposisi dengan eter. Alam semesta ini penuh dengan gelombang-gelombang (cahaya, suara, radiasi, bahkan benda-benda planet pun mengeluarkan gelombang), bahkan suatu aktifitas pun mengeluarkan gelombang. Disebutkan tadi waktu relatif akibat dapat menimbulkan sebab. Ada aktifitas, pasti ada gelombang. Gelombang berenang dalam media eter, lalu diterima otak kita. Jadilah Déjà vu tadi.
0 comments:
Post a Comment